Selasa, 18 Januari 2011

Mengenal Kampus STAN, Almamater Gayus Tambunan

REP | 26 March 2010 | 08:56 8673 202 7 dari 10 Kompasianer menilai Bermanfaat.

Logo 'kampus biru' STAN

Logo 'kampus biru' STAN

Cerita tentang Gayus Tambunan saat ini memang tiada habisnya. Dari rumah masa kecilnya yang kontras dengan rumah sekarang hingga kisah kongkalikongnya dengan Andi Kosasih yang merembet ke Susno Duadji dan jenderal-jenderal kepolisian.

Kini, mata kita tertuju ke latar belakang kuliahnya dulu, kampus yang membawa dia bisa mengubah segala-galanya. Dari penghuni rumah gubuk menjadi penghuni ‘istana’ Kelapa Gading dengan seluruh fasilitasnya. Memangnya dia kuliah di mana sich? Semua sudah tahu, di STAN.

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara itu lengkapnya. Kampus pengubah nasib dan pencetak orang-orang ternama. Sebut saja Helmy Yahya, Hadi Purnomo, Misbakhun, termasuk kini yang tengah disorot, Gayus Halomoan Tambunan. Apa sich hebatnya STAN itu? Menurutku biasa-biasa saja, para mahasiswanya lah yang membuatnya luar biasa.

Saya tidak akan mengungkapkan secara detail sejarah dan seluk-beluknya, sekedar gambaran singkat bolehlah sebagai pengantar. Selanjutnya pembaca bisa membuka link situs resminya di stan.ac.id dan situs para alumninya di stan-prodip.info.

Profil Singkat STAN

Kita kesampingkan dulu cerita tentang Gayus yang sudah mencoreng almamater dan institusinya.

Saat persemian gedung STAN pasca BLU (foto stan.ac.id)

Saat persemian gedung STAN pasca BLU (foto stan.ac.id)

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara adalah Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) di bawah Departemen Keuangan (sekarang Kemkeu) yang menyelenggarakan Pendidikan Program Diploma Bidang Keuangan. Tujuannya adalah untuk mendidik mahasiswa supaya mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang akuntansi dan keuangan sektor publik dan mempersiapkan mahasiswa agar kelak menjadi Pegawai Negeri Sipil yang berdisiplin kuat, berakhlaq tinggi dan penuh dedikasi.

Berdirinya STAN berdasarkan Keppres Nomor:45 Tahun 1974 jo Keppres Nomor : 12 Tahun 1967, dulu masih bernama IIK (Insititut Ilmu Keuangan). Mantan Dirjen Pajak, Hadi Purnomo lulus masih bernama tersebut. Pada tanggal 17 Maret 1975 melalui Surat Keputusan No.13495/MPK/1975 diperoleh izin penyelenggaraan pendidikan akuntan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Program Diploma Keuangan yang semula diselenggarakan terpisah dari STAN, kini dilimpahkan pengelolaannya kepada Direktur STAN sesuai dengan Surat Tugas Kepala Badan Pendidikan dan Latihan Keuangan Nomor: ST-098/BP/1997 tanggal 31 Oktober 1997 dan Surat Edaran Kepala Badan Pendidikan dan Latihan Keuangan Nomor: SE-048/BP/1998 tanggal 29 Oktober 1998.

Program Pendidikan yang diselenggarakan:

Program D III Keuangan Spesialisasi Akuntansi

Program D III dan D I Keuangan Spesialisasi Kebendaharaan Umum

Program D III dan D I Keuangan Spesialisasi Kepabeanan dan Cukai

Program D III dan D I Keuangan Spesialisasi Perpajakan

Program D III Spesialisasi Penilai (PBB)

Program D III Spesialisasi Pengurusan Piutang Lelang Negara (PPLN)

Lama pendidikan untuk Program Diploma I adalah 2 semester dan Program Diploma III adalah 6 (enam) semester.

Selain Program di atas juga diselenggarakan :

  • Program Pendidikan Asisten/Pembantu Akuntan, 2 (dua) semester.

(Peserta pendidikan adalah pegawai lulusan SLTA dan DI).

  • Program Diploma IV Keuangan Spesialisasi Akuntansi, 4 (empat) semester.

(Peserta pendidikan adalah pegawai lulusan D III yang telah bekerja selama 2 tahun, kecuali lulusan terbaik yang lulus Psikotest, berhak langsung ke D IV).

Sistem Pendidikan

Berlaku sistem SKS Paket, di mana mata kuliah yang ditempuh tiap semesternya sudah ditentukan oleh lembaga.

Berlaku sistem Drop Out (DO), yaitu:

  • Memperoleh nilai D pada Mata Kuliah Umum (MKU) dan Mata Kuliah Keahlian (MKK), lebih dari 2 nilai D pada Mata Kuliah Dasar Keahlian (MKDK), atau nilai E pada semua mata kuliah;
  • IP semester ganjil di bawah 2,0 atau IPK tahun yang bersangkutan kurang dari 2,6
  • Tidak menghadiri kuliah lebih dari 20% jam efektif, atau 4 kali per mata kuliah dalam satu semester, kecuali ada keterangan sakit rawat inap dari dokter;
  • Berbuat curang saat ujian (menyontek, bekerja sama, dll).

Selain itu, terdapat peraturan dislipin perkuliahan di antaranya:

  • Setiap mahasiswa pria diwajibkan mengenakan kemeja lengan pendek/panjang motif polos, biru muda, abu-abu muda atau krem dan celana panjang warna gelap yang dilengkapi dengan ikat pinggang.
  • Setiap mahasiswa wanita diwajibkan mengenakan busana/blus lengan pendek/panjang motif polos, biru muda, abu-abu muda atau krem dan rok warna gelap.
  • Setiap mahasiswa dilarang memakai pakaian yang ketat; bahan jeans dan sejenisnya, berwarna mencolok/motif batik, kotak-kotak atau bergaris.
  • Bagi mahasiswa yang tidak mengikuti ketentuan atau melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman dislipin oleh pejabat yang berwenang menghukum.
  • Selama pendidikan, mahasiswa tidak dipungut biaya pendidikan dan tidak disediakan asrama.

Sumber : klik stan-prodip.info

***

Setiap tahun puluhan ribu pendaftar dari lulusan SMA dan SMK (SMEA) memperebutkan tiket menjadi mahasiswa STAN. Terakhir (Juli 2009), pendaftar STAN mencapai 120.000 siswa dari seluruh penjuru Nusantara dari 2.500 bangku yang disediakan. Cukup test sekali saja –disebut USM (Ujian Saringan Masuk)- berupa Tes Potensi Akademik, kurang lebih selama 180 menit (tiga jam). Lokasi test disesuaikan dengan domisili peserta ujian dan wilayah kerja kantor BPPK (Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan) tersebar di kota-kota besar Indonesia, dari Banda Aceh, Medan, Padang, Palembang, Makasar, hingga Jayapura.

Dari 29 pegawai Depkeu ini, hanya ada 9 orang lulusan STAN. Doakan  kami dari 'angin besar' itu. (foto Diklat PKN/minami.2009)

Dari 29 pegawai Depkeu ini, hanya ada 9 orang lulusan STAN. Doakan kami dari 'angin besar' itu. (foto Diklat PKN di kampus 'lama' STAN/minami.2009)

Saya sendiri ikut USM STAN pada tahun 2001 di kampus STIE Kerjasama Yogyakarta. Saya cari lokasi terdekat dari domisili saya pada waktu itu. Banyaknya pendaftar menyebabkan lokasi ujian disebar di sekolah-sekolah dan kampus, termasuk stadion olahraga yang mampu menampung ribuan peserta, termasuk di Gelora Bung Karno Jakarta setiap bulan Juli. Dari 250 pendaftar satu SMA saya, terhitung kurang lebih 35 orang yang diterima, angka yang cukup fantastis untuk sekolah yang berada di pinggir sawah (mewah = mepet sawah). Bukan sekolah internasional sekelas SBI atau pun RSBI. Klik di sma1purworejo.sch.id untuk sekedar menengoknya.

Setelah menempuh perkuliahan selama enam semeter (program DIII) dan dua semester (DI), kita harus menandatangani kontrak kerja dan kinerja (pakta integritas). Harus mau ditempatkan di seluruh kantor operasional Departemen Keuangan yang tersebar hingga ke pelosok kabupaten di Indonesia. Selain itu kita juga menandatangani kontrak di atas materai untuk siap mengabdi kepada negara dan masyarakat (mulai era Menkeu Sri Mulyani).

Kini, Gayus telah mengkhianati kontrak tersebut, atau mungkin dulu belum ada waktu dia lulus (2000). Semoga tidak ada Gayus-Gayus lain. Sudah sepantasnya dia mendapat ‘penghargaan’ atas ‘pengabdiannya’ itu. Tentang siapa yang akan memberikannya, wallahua’lam.

***

Kisah Pribadi

Saya diwisuda tahun 2004 oleh Menteri Keuangan Boediono pada waktu itu dan langsung ditempatkan di Kota Bengkulu. Tempat yang cukup beruntung dibanding tempat lain semacam Buntok, Waingapu, Merauke, Pulau Weh (Aceh), Kep. Natuna, dan seluruh penjuru Nusantara lainnya. Kebetulan di tiap kota yang saya sebutkan tersebut, ada minimal satu teman SMA saya dengan berbagai cerita suka dan duka ketika kami sedang berkumpul bersama. Sungguh lucu dan kadang mengenaskan.

Saya ingin berbagi kisah tentang teman SMA saya -namanya Ario-, dia merupakan keponakan pejabat eselon II di Ditjen Perbendaharaan Negara, Depkeu. Meski begitu bukan berarti dia seenaknya bisa minta penempatan di kota sesuai yang dia kehendaki, semua harus melewati proses penyaringan. Mungkin karena prestasinya pas-pasan, akhirnya dia ‘dibuang’ ke Kota Buntok (Kalimantan Tangah). Sebuah kota yang hanya bisa ditempuh menggunakan kapal speedboat dari Laut Jawa menyusuri Sungai Mahakam ke arah jantung Pulau Kalimantan.

Katanya, ketika kita makan di warung makan –jangan bayangkan ‘warteg’ itu di pinggir jalan- sepanjang pinggiran Sungai Mahakam, jika pemilik warung tidak memiliki kembalian, siap-siaplah kita bawa plastik, karena kembalian kita berupa cabe hijau besar seharga seribu rupiah per buahnya. Dia sendiri pernah mengalaminya dan menjadi lelucon kami jika sedang reunian dengan teman-teman.

Kampus Pengubah Nasib

Melihat rumah Gayus sebelum dan sesudah menjadi pegawai pajak, memang membuat kita rekan-rekannya menjadi tersayat-sayat. Bukan karena kita tidak mampu atau mau seperti dia. Memang nasib bisa kita ubah dengan tangan kita, disertai kepurusan Yang Maha Kuasa tentunya. Namun, jika cara yang digunakan tidak elok, maka kenistaanlah yang akan didapat. Tidak hanya di dunia, namun sudah pasti di ‘alam sana’ suatu hari nanti.

'Sekolah marjinal' mengikuti peresmian gedung barunya (stan.ac.id)

'Sekolah marjinal' saat peresmian gedung barunya (stan.ac.id)

STAN adalah sebuah harapan di antara PTK-PTK lain di negeri ini. Harapan bagi mereka-mereka golongan termarjinalkan yang tidak sanggup mengenyam nikmatnya bangku kuliah. Bagi saya yang hanya anak seorang guru SD, adanya STAN ini adalah kesempatan langka untuk mengubah nasib, dalam hal positif tanpa mengorbankan norma dan kepantasan yang berlaku. Saya kira bukan hanya harapan orang tua saya dan orang tua-orang tua yang lain. Kami tidak akan sanggup mampu membayar ‘uang masuk’ ke institusi yang masih menerapkan birokrasi busuk, yang kadang mematok tarif hingga seratus juta. Seperti halnya menjadi PNS di daerah penempatan saya dan mungkin di daerah-daerah lain sejak digulirkan otonomi daerah. Sesuai prinsip ‘kekeluargaan’ dan ‘gotong royong’. Hanya keluarga pejabat dan pemilik uang yang sanggup memasukinya. Kadang saya berpikir, buat apa mereka mengeluarkan puluhan juta hanya untuk menjadi PNS dengan gaji ala kadarnya. Bukankah dana sebesar itu bisa untuk modal usaha, buka warnet atau rental komputer misalnya?

Sejak penetapan STAN sebagai Badan Layanan Umum di bawah Kementerian Keuangan sekitar dua tahun ini, memang membawa angin segar bagi pengelolaan keuangan yang mandiri. Mereka bisa melakukan swakelola bagi perbaikan kampus dan lingkungannya, tidak mengandalkan APBN seperti selama ini. Namun, kini STAN sebagaimana PTK-PTK lain sedang terancam dengan ditandatanganinya Peraturan Pemerintah (PP) No. 14 tahun 2010 intinya tentang pembubaran perguruan tinggi kedinasan di bawah kementerian masing-masing. Arus ‘penolakan’ kini tengah digulirkan oleh para facebookers dalam grup 100 Ribu Mahasiswa Kedinasan Mohon PP 14 2010 Ditinjau Ulang.

Selain itu STAN juga sedang terancam kredibilitasnya dengan munculnya ‘STAN’ swasta. Perkuliahan yang mengambil lokasi di kampus STAN Bintaro dan dikelola oleh dosen-dosen di sana kadang disamakan dengan mahasiswa STAN yang berasal dari jalur USM. Dari segi lifestyle saja sudah njomplang antara mahasiswa STAN negeri dengan mahasiswa STAN swasta tersebut, maklum mereka berasal dari kalangan ‘the have’ yang mungkin sekedar ingin merasakan bagaimana suasana kampus ‘kaum marjinal’ tersebut.

Semoga STAN masih bisa bertahan dan tidak berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional. Jika itu terjadi, niscaya peluang para orang tua yang kesulitan untuk menguliahkan putra-putrinya ke ‘kampus gratis’ tersebut akan sedikit tertutup, sama halnya ketika mereka hendak ke UI, ITB, Unair, dan sebagainya.

Almunus seperti Gayus Tambunan bukanlah cerminan alumni yang lain. Dari sekitar 25.000 alumni ‘kampus biru’ tersebut, saya rasa masih banyak yang berjalan sesuai jalurnya.

Anda orang tua, masih adakah yang tertarik menyekolahkan putra-putri Anda ke STAN?

Meski tidak diasramakan seperti halnya IPDN dan kampus-kampus PTK lainnya, di sekitar kampus STAN tersedia kos-kosan murah meriah tanpa meninggalkan kualitas dan kelasnya. Berada di perkampungan Betawi dengan keramah-tamahan ciri khas mereka. Bisa dicicil juga, ini yang terpenting (hehehe). Lokasi kos-kosan terbagi ke dalam empat kuadran yakni Kalimongso (Jl. Kalimongso) di sebelah utara dan timur laut kampus, PJMI (Perumahan Jurang Mangu Indah) di sebelah timur, kuadran Ceger (Jl. Ceger Raya) di sebelah utara, kuadran Sarmili (H. Sarmili) di sebelah barat, dan kuadran Ponjay (Perumahan Pondok Jaya) di sebelah selatan (gerbang kampus Jl. Raya Bintaro).

Jujur, dan mungkin rekan-rekan alumnus STAN berpendapat sama bahwa lingkungan sekitar kampus di sana adalah tempat ternyaman sepanjang hidupnya. Bukti konkret banyak alumni yang rela tinggal di sana meski jauh dari tempat kerjanya. Saya pun sebenarnya ingin menetap di sana. Kangen suasananya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar